NGAJI USUL FIQIH
Abdul Wahhab Khallaf dalam Ilmu Ushul al-Fiqh menjelaskan bahwa dalil (الدليل) secara bahasa adalah: sesuatu yang menunjukkan pada sesuatu, empiris atau abstrak, baik atau buruk.
Secara istilah, dalil adalah sesuatu yang menunjukkan hukum syara’ praktis dengan analisis yang benar, baik dengan jalan pasti atau anggapan yang diunggulkan.
ما يستدل بالنظر الصحيح فيه علي حكم شرعي عملي علي سبيل القطع او الظن
Sebagian ulama ahli ushul menyatakan bahwa dalil adalah sesuatu yang melahirkan hukum syara’ dengan jalan pasti. Sedangkan sesuatu yang melahirkan hukum syara’ dengan jalan anggapan yang diunggulkan (الظن), maka tidak dikatakan dalil. Namun, pendapat popular (المشهور) dari kalangan ulama ushul menyatakan, dalil adalah sesuatu yang melahirkan hukum syara’ praktis secara mutlak, baik melalui jalan pasti atau anggapan yang diunggulkan. Oleh sebab itu, ulama ushul membagi dalil menjadi sesuatu yang petunjuknya pasti (قطعي الدلالة) dan sesuatu yang petunjuknya tidak pasti atau diunggulkan (ظني الدلالة).
KH MA. Sahal Mahfudh dalam البيان الملمع عن الفاظ اللمع menjelaskan, dalil adalah sesuatu yang menunjukkan sesuatu yang dicari (المرشد الي المطلوب), yaitu tanda yang menunjukkan ilmu atau anggapan unggul dengan sesuatu yang dicari (المطلوب الخبري).
Dalam hal ini ada beberapa istilah yang harus dipahami:
Ad-Daal (الدال): Dzat yang melahirkan dalil, yaitu Allah Azza wa Jalla
Al-Mustadil (المستدل): orang yang mencari dalil. Mustadil ini berlaku bagi orang yang bertanya (السائل) karena ia mencari dalil dari sesuatu yang ditanya, dan juga berlaku bagi orang yang ditanya (المسئول) karena ia mencari dalil dari sumber (الاصول).
Mustadal alaih (المستدل عليه): hukum yang dicari, seperti halal dan haram
Mustadal lahu (المستدل له): sesuatu atau seseorang yang ditunjukkan. Hal ini berlaku bagi hukum karena dalil mencarinya untuk menetapkan ilmu, dan juga berlaku bagi orang yang bertanya (السائل) karena dalil mencarinya disebabkan ia mengetahui hukum.
Istidlal (الاستدلال): mencari dalil (معرفة الدليل). Istidlal ini kadang terjadi dari orang yang bertanya (السائل) kepada orang yang ditanya, dan terkadang terjadi dari orang yang ditanya pada sumber-sumbernya (الاصول).
Dalam kajian tadi disebutkan peran utama nadhar (النظر). Nadlar dalam البيان الملمع عن الفاظ اللمع adalah memikir kondisi obyek secara mendalam (الفكر في حال المنظور فيه). Nadhar ini menjadi jalan mengetahui hukum jika memenuhi syarat. Sebagian orang mengingkari nadhar ini. Namun hal ini salah karena sebuah ilmu mampu menghasilkan hukum jika ada nadhar. Maka nadhar adalah jalan mengetahui hukum.
Syarat nadhar supaya menghasilkan ilmu adalah:
Pertama, orang yang sempurna alatnya (كامل الالة)
Kedua, analisis pada dalil, bukan pada sesuatu yang menyerupai dalil (في دليل لا في شبهة)
Ketiga, menguasai dan memenuhi hak dalil, sehingga ia mampu memberikan hak dalil secara tertib, dengan mendahulukan yang wajib didahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang wajib diakhirkan.
Imam Tajuddin Abdul Wahhab Ibn As-Subki dalam kitab جمع الجوامع menjelaskan نظر adalah proses berpikir tanpa dibatasi pada sesuatu yang melahirkan ilmu atau anggapan unggul. Proses berpikir adalah gerakan proses pemikiran pada sesuatu yang bisa dipikir (rasional) (والفكر حركة النفس في المعقولات).
Lebih lanjut Imam Tajuddin As-Subki menjelaskan, nadhar yang menghasilkan hukum adalah nadhar yang ada dalam koridor yang mengarahkan jiwa pada sesuatu yang dicari. Hal ini dinamakan metode petunjuk (وجه الدلالة).
Contoh analisis yang benar (nadhar shahih):
العالم حادث وكل حادث له صانع فالعالم له صانع
Alam adalah baru, sesuatu yang baru pasti ada yang membuat, maka alam pasti ada pembuatnya
النار شيئ محرق وكل محرق له دخان فالنار لها دخان
Api adalah sesuatu yang membakar, semua sesuatu yang membakar pasti ada asap, maka api pasti punya asap
اقيموا الصلاة امر بالصلاة وكل امر بشيئ لوجوبه حقيقة فالامر بالصلاة لوجوبها
Dirikanlah shalat adalah perintah shalat, semua perintah pada sesuatu hakikatnya menunjukkan sesuatu itu wajib, maka perintah shalat adalah karena status hukumnya wajib
Demikian contoh dalam kitab جمع الجوامع.
Macam-Macam Dalil Syara’
Berdasarkan riset induktif (استقراء) ditetapkan bahwa dalil-dalil syara’ yang melahirkan hukum praktis (الاحكام العملية) ada empat:
Pertama, al-Qur’an
Kedua, As-Sunnah
Ketiga, al-Ijma’
Keempat, al-Qiyas
Keempat macam ini menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah dalil syara’ yang disepakati mayoritas umat Islam. Mereka sepakat bahwa jika ada masalah, maka pertama kali adalah mengkaji al-Qur’an. Jika ada hukum di dalamnya, maka hukum itulah yang dijadikan hukum. Jika tidak ditemukan hukumnya, baru mengkaji Sunnah. Jika dalam sunnah ada hukumnya, maka hukum itu yang dijadikan pedoman. Jika dalm sunnah tidak ditemukan hukumnya, maka dikaji apakah ulama-ulama ahli ijtihad dari setiap masa sudah sepakat (اجماع) pada status hukumnya. Jika ditemukan kesepakatan (اجماع) mereka, maka itulah yang diambil. Jika tidak ditemukan, maka berijtihad-lah untuk menemukan hukumnya dengan jalan analogi (قياس) pada status hukum sesuatu yang sudah dijelaskan dalam nash (al-Qur’an-Sunnah).
Pijakan keempat macam dalil syara’ ini adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً {59}
Perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perintah mengikuti al-Qur’an dan sunnah. Perintah kepada ulil amri (penguasa) adalah perintah untuk mengikuti kesepakatan ulama mujtahid karena mereka adalah penguasa yang otoritatif dalam bidang syariat. Sedangkan perintah untuk mengembalikan realitas yang dipertentangkan kepada Allah dan Rasul adalah perintah mengikuti qiyas jika tidak ada nash dan ijma’ karena qiyas adalah mengembalikan persoalan yang dipertentangkan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menyamakan realitas yang belum ada nashnya kepada realitas yang sudah ada nashnya karena kesamaan illat (legal reason). Ayat ini merupakan perintah mengikuti empat hal ini.
Sedangkan dalil sunnah tentang empat dalil syara’ ini adalah hadis riwayat Imam Baghawi:
عن معاذ بن جبل ان رسول الله صلي الله عليه وسلم لما بعثه الي اليمن قال: كيف تقضي اذا عرض لك قضاء ؟ قال: اقضي بكتاب الله. قال: فان لم تجد في كتاب الله ؟ قال: فبسنة رسول الله . قال: فان لم تجد في سنة رسول الله ؟ قال: اجتهد راْيي ولا الو (اي لا اقصر في اجتهادي). قال: فضرب رسول الله علي صدره وقال: الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله
Dari shabaat Mu’adz “sesungguhnya Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bersabda: bagaimana kamu memutuskan jika dihadapkan masalah yang harus diputuskan ? Mu’adz menjawab: saya putuskan dengan kitab Allah. Nabi bertanya: jika kamu tidak menemukan dalam kitab Allah ? Mua’dz menjawab: Maka dengan sunnah Rasulullah. Nabi bertanya: jika kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasulullah ? Muadz menjawab: saya berijtihad dengan pendapatku dan saya tidak lalai (yakni: saya tidak ceroboh dalam berijtihad). Perawi hadis mengatakan: Nabi kemudian menepuk dada Muadz dan berkata: segala puji bagi Allah yang memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah kepada sesuatu yang diridlai Rasulullah.
Selain hadis di atas, ada riwayat Imam Baghawi dari Maimun bin Mahran dalam hal ini, yaitu:
كان ابو بكر اذا ورد عليه الخصوم نظر في كتاب الله فان وجد فيه ما يقضي بينهم قضي به وان لم يكن في الكتاب وعلم عن رسول الله في ذلك الامر سنة قضي بها. فان اعياه ان يجد في سنة رسول الله جمع روْوس الناس وخيارهم فاستشارهم فان اجمع راْيهم علي امر قضي به وكذلك كان يفعل عمر, واقرهما علي هذا كبار الصحابة و روْوس المسلمين ولم يعرف بينهم مخالف في هذا الترتيب
Abu Bakar ketika ada permusuhan (masalah yang diperselisihkan), maka beliau melihat (pertama kali) dalam kitab Allah. Jika ia mendapatkan di dalamnya sesuatu dibuat mengambil keputusan di antara umat Islam, maka Abu Bakar memutuskan dengannya. Jika dalam kitab Allah tidak ditemukan dan ia mengetahui masalah tersebut ada dalam sunnah Rasulullah, maka ia memutuskan dengan sunnah. Jika Abu Bakar kesulitan menemukan jawabannya dari Sunnah Rasulullah, maka ia mengumpulkan para pemimpin dan orang-orang pilihan dari kalangan sahabat, kemudian Abu Bakar bermusyawarah kepada mereka. Jika mereka sepakat dalam satu pendapat dalam suatu masalah, maka Abu Bakar memutuskan dengan kesepakatan tersebut. Cara Abu Bakar seperti ini dilakukan Umar. Pembesar sahabat dan para pemimpin umat Islam mengakui cara Abu Bakar dan Umar, dan tidak diketahui adanya orang yang menentang di antara mereka dalam hal urutan dalil.
Dalil Syara’ Yang Diperselisihkan
Selain empat dalil syara’ di atas, ada macam-macam dalil syara’ yang tidak disepakati mayoritas umat Islam untuk menggunakannya sebagai dalil. Sebagian umat menggunakannya sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’. Namun, sebagian lain mengingkarinya.
Dalil-dalil yang diperselisihkan yang paling popular ada enam, yaitu:
Pertama, istihsan (الاستحسان)
Kedua, Maslahah mursalah (المصلحة المرسلة)
Ketiga, istishab (الاستصحاب)
Keempat, urf (العرف)
Kelima, madzhab shahabi (مذهب الصحابي)
Keenam, syar’u man qablana (شرع من قبلنا)
Kesimpulan:
Dalil syara’ semuanya ada 10 (sepuluh). Empat di antaranya disepakati mayoritas umat, yaitu: al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Sedangkan yang enam diperselisihkan, yaitu: istihsan, maslahah mursalah, urf, madzhab shahabi, dan syar’u man qablana.
Demikian Abdul Wahab Khallaf menjelaskan macam-macam dalil syara’ yang disepakati dan diperselisihkan oleh para ulama. Sepuluh macam dalil di atas seyogianya dikaji secara keseluruhan melihat dinamika zaman yang sangat kompleks. Sepuluh dalil di atas sangat dibutuhkan untuk menghadirkan solusi hukum yang praktis, aplikatif, dan efektif.
IPMAFA, Sabtu, 31 Maret 2018/ 14 Rajab 1439
Komentar
Posting Komentar